Kasidah Cinta untuk Sang Nabi SAW

                            

          

Kasidah Cinta untuk Sang Nabi SAW
مولاي صل وسلم دائما أبدا — على حبيبك خير الخلق كلهم
“Wahai Tuanku! Shalawat dan salam sudi Engkau limpahkan selalu kepada kekasih-Mu sebaik-baik mahluk yang Engkau titahkan.”
Pelantun puisi sanjungan atas Nabi SAW ini bernama lengkap Syaikh al-Imam, al-Alim Syarafuddin Abu Abdullah, Muhammad bin Sa’id bin Hammad bin Muhsin bin Abdullah bin Shonhaj bin Hilal al-Shonhaji. Tentang kapan dan di mana ia dilahirkan, Imam Suyuthi dalam kitab “Khusnul Muhadloroh” menuturkan: “Syarafuddin Muhammad bin Sa’id bin Hammad, yang berasal dari Maghrib, hidup di kota Bushir ini dilahirkan di kota Dallas pada tahun 608 Hijriyah.
Penulis Burdah yang sangat fenomenal ini kadang-kadang juga disebut al-Dallashiri. Satu sebutan yang merujuk pada asal kedua orang tuanya, yaitu Dallas dan Bushir satu daerah di wilayah Shaid (daerah selatan Mesir). Tapi di kemudian hari ia lebih terkenal dengan Bushiri.
Imam Bushiri Sang Penyair
Kepakaran dan ketenaran Imam Bushiri dalam bidang syair bukan hanya diakui masyarakat pada zaman sekarang. Ketika orang hendak melantunkan sanjungan atas baginda Nabi SAW maka yang terlintas dalam benak adalah untaian qasidah yang menjelma lewat tangan dingin Imam syair sepanjang zaman ini.
Imam al-Shihab bin Hajar, rupanya ia tidak rela untuk tidak turut menyanjung Imam Bushiri : “Imam Bushiri telah mendapatkan limpahan dari Allah berupa keahlian yang cemerlang di bidang syair, sajak dan natsar atau prosa “, begitu ia mengungkapkan suatu ketika. Lebih lanjut ia mengatakan : “Kalau saja karyanya, hanyalah Qashidah Burdah yang terkenal itu, maka itu sudah cukup menjadi suatu kebanggaan. Sebab ia juga mempunyai karya Qashidah Hamziyyah yang indah”. Dan memang qashidah Burdah ini banyak didendangkan, dikaji di rumah-rumah, di masjid-masjid dan tempat perayaan. Oleh karena itu tak ayal lagi keharumanya semakin semerbak.
Sebelum menekuni dunia sastra Syarafuddin pernah menjabat sekretaris di bidang perpajakan di Wilayah Bilbis, propinsi Syarqiyyah yang merupakan awal profesinya. Namun jiwa kesufiannya memberontak ketika melihat teman sejawatnya mayoritas bermental korup. Keadaan seperti ini
memaksanya menjauhkan diri dari hal-hal yang berbau keduniaan, termasuk profesinya itu dan dunia sufi menjadi alternatif satu-satunya. Di ‘dunia’ yang baru ini ia menitinya untuk meraih cinta dan kedekatan dengan Yang Maha Asih. Pengalaman pahit saat menjadi pegawai negeri sipil membuatnya membuat sajak: “Aku diuji dalam barisan abdi bangsa, namun tak kutemui seorangpun yang bisa dipercaya”.
Rupanya ‘dunia pengabdian tulus kepada Tuhan’ semakin bulat ia masuki. Kota Bilbis ia tinggalkan untuk selanjutnya menuju sebuah kota wali kesohor yaitu Iskandariah untuk menimba ilmu pada Syaikh Abu Abbas al-Mursi. Ali Mubarok dalam bukunya “Al-khutat al-Taufiqiyyah” berkata; “Imam Bushiri dan Ibnu Atho’ al-Sakandari adalah anak didik Syaikh Abu Abbas al-Mursi.
Kemahiran di bidang syair dimiliki Imam Busiri, dan kepakaran di bidang natsar ada di tangan Imam Ibnu Atho’ al-Sakandari. Syarafuddin al-Bushiri adalah murid yang rajin, selau hadir dalam majlis pengajian sang guru. Berkat ketekunannya itu Allah menganugerahi kematangan dalam beragama, kedalaman ilmu, kewiraian dan kewalian. Hal ini berpengaruh dalam sajak-sajaknya yang lebih bercorak sufistik dan lebih khusus lagi bertema tentang penyanjungan pada Baginda Muhammad Saw.
Atasi problem yang menimpamu dengan akal budimu, dan ketika itu tidak memadahimu pahami dengan himah kebijaksanaanmu. Dan ketika itupun tak terjangkau maka serahkan segalanya pada Yang Maha Esa. Begitulah petuah bijak dunia sufi. Dan begitulah yang dirasakan dan dijalani oleh tokoh ini. Sebagai manusia biasa ia pernah mendapatkan ujian dari Allah berupa penyakit “falij” atau lumpuh, yang mengakibatkan tidak berfungsinya sebagian organ tubuhnya. Ahli medis sudah angkat tangan tidak bisa mengobatinya. Maka ia berfikir untuk merangkai sajak dengan segudang harapan semoga dengan sajaknya itu Allah berkenan melimpahkan kesembuhan penyakitnya. Setelah ia selesai merangkai bait-bait Qasidah-nya, ia bermimpi bertemu dengan Baginda Nabi Muhammad Saw.
Dalam mimpinya itu baginda Nabi SAW mengusapnya dengan kedua tangan beliau yang mulia. Dan ketika terjaga penyakit yang menimpanya itu telah benar-benar sembuh. Allah telah berkenan menyembuhkannya.
Dalam kitab “al-Natakhat al-Syaziliyyah fi syarhi al-Burdah, Imam Hasan al-Nadawi berkata; “Alkisah, setelah kejadian itu Imam Bushiri keluar dari rumahnya. Di jalan ia bertemu dengan seorang laki-laki shalih yang memintanya membacakan sajak–sajaknya. Maka terkejutlah ia mendengar permintaan itu. Karena ia memang belum pernah bercerita pada siapapun, perihal sajaknya yang baru itu. Dengan nada heran al-Bushiri balik bertanya; “Dari mana Anda mengetahui sajak-sajak saya?”, Orang itu menjawab: “Aku mendengarnya tadi malam di kala engkau membacanya di hadapan Baginda Rasul”, mendengar jawaban lelaki itu Bushiri segera memberikan
sajak itu kepadanya. Kemudian Imam Bushiri berkata: “Setelah aku membacakan pada laki-laki tersebut, ia segera meninggalkan aku”.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Imam Bushiri dipanggil menghadap Shahib Bahauddin, seorang menteri Raja Dhahir Bibres al-Bun Daqori, yang memintanya membacakan Qasidah-nya, yang berisikan sanjungan pada Baginda Rasul. Sang menteri berjanji akan mendengarnya dengan berdiri, dan tanpa tutup kepala demi menghormat Nabi SAW. Imam Bushiripun segera membacakannya dan menulisnya dengan tangannya sendiri. Diceritakan bahwa tulisan tersebut selalu disimpan oleh menteri tersebut untuk dibaca, kadangkala untuk tabarruk-an , lebih-lebih ketika ada sesuatu yang penting. Hal itu dilakukan oleh sang menteri, sampai ia meninggal dunia. Setelah sang menteri tersebut meninggal dunia, tulisan tersebut selalu dijaga rapi oleh putranya.
Shahib Bahauddin bin Hana adalah orang yang wira’. Ia gemar membeli peninggalan–peninggalan Nabi SAW dari Bani Ibrahim di kota Yanbu’. Demi menimpan dan menjaga koleksinya ini ia membangun bangunan khusus yang memanjang dekat sungai Nil. Daerah tersebut sekarang terkenal dengan sebutan Atsarun Nabi SAW.
Qasidah Imam Bushiri yang berisikan sanjungan pada Baginda Nabi SAW terkenal dengan sebutan al-Burdah , tetapi sebetulnya nama yang lebih sesuai adalah al-Baro’ah, karena pengarangnya dibebaskan dari penyakit lumpuh. Adapun Burdah adalah sebuah Qashidah tulisan Ka’ab bin Zuhair yang berisikan penghinaan kepada Baginda Rasul sebelum dia masuk Islam. Maka Nabi SAW pun mengurungkan untuk membunuhnya setelah dia datang bertaubat ke Masjid Nabawi, dan sambil membacakan Qasidah-nya yang permulaannya berbunyi:
بانت سعاد فقلبي اليوم متبول – - – متيم أثرها لم يفد مكبول
وقد نبئت أن رسول الله أوعدني – - – والعفو عند رسول الله مأمول
“Suad telah tega meninggalkanku dan kini aku menjadi gila tak mampu menahan diri namun bayangnya tak jua sirna. Aku dengar janji dari baginda Nabi SAW hanya ada asa tuk meraih ampunnya.”
Maka Nabi SAW pun mengampuninya sambil melepaskan burdah-nya yang mulia. Dari cerita ini Qasidah Ka’ab bin Zuhair terkenal dengan sebutan Burdah. Banyak pula beredar kitab Burdah yang tertera dengan sebutan al-Bara’ah (dibebaskan) sebagaimana yang telah dialami oleh Imam Bushiri sendiri.
Ketika Imam Bushiri merangkai Qasidah-nya, ia menemukan kesulitan setelah sampai pada kalimat
فمبلغ العلم فيه أنه بشر
Pada saat itu baginda Nabi SAW berkata “Bacalah, teruskan!”. Imam Bushiri menjawab; “Aku tak mampu menemukan bait setengahnya, maka Nabi SAW bersabda padanya;
وأنه خير الخلق كلهم
Jumlah bait-bait Qasidah ini ada seratus enam puluh. Di dalamnya terdapat beberapa fasal yang mengandung sanjungan pada Baginda Nabi SAW, perjuangan Nabi SAW, dan tawassul kepada Nabi SAW. Banyak para penyair yang mengikuti jejak Imam Busiri dalam merangkai syair, dengan mengikuti lirik lagu Imam Bushiri. Di antaranya adalah al-Syauqi, (sang pangeran para penyair) dalam Qasidah-nya, “Nahju al-Burdah”.
Wafatnya Imam Bushiri
Sebagaimana penuturan Imam Suyuthi, Imam Bushiri meninggal pada tahun 696 Hijriyyah. Makamnya ada dalam komplek masjid Imam Bushiri yang berlokasi di kota Iskandariah berhadapan dengan Masjid Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi. Masjid Imam Bushiri, dahulunya adalah sekedar zawiyyah (bagian ruangan dari ruangan besar) yang cukup kecil. Beberapa waktu kemudian diadakan penambahan, perluasan sehingga seperti sekarang ini. Bentuk bangunan yang ada sekarang merujuk pada seni gaya bangunannya pada tahun 1274 H.

*dikutip dari berbagai sumber
 
COPYRIGHT © 2013
PENGAMALWAHIDIYAH.ORG
          










Comments

Popular posts from this blog

cara update status facebook unik via apapun